Kutuliskan, Karena Otak Tak Cukup Mampu Mengingat

Friday, December 31, 2010

CERPEN : “SEBELUM CAHAYA…DEDAUNAN….”



By. Husain. MP. S To. Pau

Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan luas perkebunan  yang berbukit-bukit. Di pinggir sebelah barat tidak jauh dari tempatku duduk, mengalir jernih air sungai yang alirannya tampak tenang, menabrak batu-batu kali besar yang menghalanginya. Kicauan burung terdengar bersahut-sahutan di atas pohon besar, yang dibawahnya di buat bangku-bangku kayu tempat di mana aku biasa duduk menatap keindahan alam ini, dan mengabadikan keindannya dengan kamera kesayanganku.
Pikiranku menerawang mencoba mengingat pertemuanku dengan gadis manis di pinggir bukit perkebunan sebelah timur dari tempatku duduk. Namanya Daun, daun seorang gadis berperawakan indah, dengan rambut terurai hitam lurus, kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, terdapat lesung di kedua pipinya. Daun memperhatikanku yeng tengah asyik mengambil beberapa fose gambar perkebunan teh disekitarku. Merasa diperhatikan, akupun mendekatinya.
“Hai! Aku Ucenhk, maaf jika aku mengganggumu.” Sapaku ramah. “Ku perhatikan sejak tadi kamu mengamatiku. Kamu tertarik dengan ini? Kalau kamu mau, kamu bias mencobanya.” Lanjutku kemudian seraya menyodorkan kameraku.
Daun hanya menunduk sesaat, kemudian melirik kamera ditanganku. Aku mengangguk mantap, namun ia tetap tak bergeming. Aku kembali mengambil obyek kameraku. Gadis ini aneh, pikirku.
“Maaf, boleh ku tahu namamu?”tanyaku memecah keheningan diantara kami.
Gadis itu tetap terdiam, dipetiknya daun  yang tumbuh didekatnya. Daun menyodorkan selembar daun  dari tangannya padaku. Ku ambil daun  dari tangannya, ku perhatikan daun itu lekat-lekat. Ku tatap wajahnya tak mengerti. Daun menunjuk dirinya dan menunjuk daun ditanganku. Aku baru mengerti kalau dia tak dapat berbicara.
“Daun?” tanyaku memastikan.
Daun mengangguk mantap. Aku tersenyum simpati padanya, diapun membalas senyumanku. Pandangan itu menyisakan rasa yang berbeda, mencoba menyelinap masuk ke relung hatiku. Daunpun tersipu malu. Ku harap dia merasakan hal yang sama denganku.
“Apa yang kau lakukan di tempat ini seorang diri?” tanyaku kemudian.
Dia hanya tersenyum menatap hamparan perkebunan nan hijau yang membentang luas dihadapan kami. Sepertinya ia juga tengah merasakan keindahan alam ini, sama sepertiku.
“maukah kamu menjadi modelku?”
Awalnya dia menolak malu-malu, berkali-kali menggelengkan kepalanya. Namun aku mencoba merajuk hingga dia mengangguk setuju. Aku melihatnya sebagai gadis yang lembut dan sederhana, begitu natural.
“mulai sekarang kita adalah teman?” ujarku ramah. Kuulurkan tanganku, diapun menjabat tanganku hangat.
Daun mulai berbicara denganku melalui isyarat tangannya. Lama-lama aku mulai mengerti dan terbiasa. Meskipun Daun memiliki kekurangan dalam dirinya, namun dia selalu tampak ceria. Aku mengaguminya, mengagumi kecantikannya.
Di lain waktu, dia mengajakku ke rumahnya di ujung jalan pinggir sungai. Rumahnya hanyalah gubuk kecil yang sudah reot. Dia hanya tinggal sendiri di rumah itu. Dia dibesarkan oleh neneknya, neneknya belum lama meninggal. Sejak saat itu, dia menjadi sebatang kara. Namun, itu tidak mematahkan semangatnya untuk terus melanjutkan hidup.
Aku menceritakan kehidupanku sebagai photographer di kota, aku hanya sesekali berlibur ke rumah nenekku di kota ini untuk menjenguknya, serta mencari obyek gambar baru, atau hanya sekedar refresing. Cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Hingga kamipun setuju menjalin hubungan yan lebih pribadi. Aku merasa cocok dengannya. Meskipun dari fisik dia memiliki kekuangan, namun bagiku dia gadis yang sempurna. Dialah sumber inspirasiku, tempatku berbagi kisah dan begitu mengerti akan diriku. Waktu yang singkat, tidak menjadi hambatan untuk kami menjalin suatu hubungan. Aku mencintainnya, sangat menyayanginya.
Siang itu kami duduk di bawah pohon rindang diatas bukit. Dia menceritakan mimpi-mimpinya, perjalanan hidup yang begitu sunyi, namun tak sedikitpun ku melihat aura wajahnya sedih, dia bukanlah gadis yang mudah rapuh. Dia begitu bersemangat menceritakan hidupnyaitu melalui bahasa isyarat tangan dengan wajah berseri-seri. Sungguh mengagumkan! Hanya satu impiannya terlepas dari kesunyian yang tidak lain adalah biasa menjadi manusia sempurna, yang mampu berbicara dengan baik.
Daun begitu berharap padaku untuk menjadi teman dikehidupannya. Jauh di lubuk hatiku ingin selalu membahagiakan gadisku ini. Apapun akan kulakukan untuk membuatnya bahagia. Karena yang sekarang dibutuhkannya hanyalah seorang teman.
Aku membelai rambut indahnya yang selalu terurai dan menyandarkannya dibahuku.
“Aku begitu menyayangimu!” bisikku lirih.
Daun mengangguk senang, senyumnya mengembang indah.
“apa yang membuatmu bahagia, tanpa ada orang lain disisimu?” tanyaku kemudian.
Daun meraih jemariku, menarikku untuk beranjak menuju rumahnay. Daun menunjukkan sesuatu padaku, sebuah lampu bohlam yang berisi air. Aku menatapnya tak mengerti. Dia hanya tersenyum, kembali mengisyaratkanku untuk datang esok pagi sebelum matahari terbit.
Pukul lima pagi aku menemuinya di bukit tempat biasa kami bertemu. Dia membewa bohlam air miliknya. Diceritakannya bahwa bohlam itu amat berarti baginya, yang dimilikinya setelah neneknya meninggalkannya. Bohlam itu berisi tetesan embun yang diambilnya dari pucuk dedaunan sebelum mentari menampakan cahayanya.
Daun merentangkan tangannya mencoba merasakan hembusan angin yang membelai rambutnya mesra. Saat itu dia merasakan betapa indahnya dunia, betapa berartinya hidup dan ia tidaklah sendiri. Embun dan angin pagi inilah sahabatnya, yang membuatbya selalu merasa senang.
Aku menatapnya senang. Daun yang hanya sebatang kara, tidak pernah merasa pesimis dengan kehidupannya. Mungkin ini saat yang tepat untuk memberitahukan kepulanganku ke Kota. Pikirku saat itu.
“Daun!” seruku lirih. Daun berbalik menatapku lekat-lekat.
“Sudah saatnya aku mengatakan ini padamu. Aku tidak bias menemanimu lagi di sini, besok aku akan pulang ke kota. Orangtuaku tengah menungguku di sana.” Rasanya sebongkah batu besar, baru saja berhasil terlepas dari dadaku. Lega… sekali.
Seketika ekpresi wajahnya yang bahagia berubah menjadi sendu. Tatapnya memelas.
“Daun aku berjanji akan sering menemuimu di sini, menemanimu bercerita dan aku akan selalu menjaga cinta ini untukmu. Aku harap kamu mengerti.” Janjiku padanya.
Ku raih jemarinya lembut, menggenggamnya erat. Namun daun melepaskan dengan kasar, seraya berlari meninggalkanku.
Aku kembali tersadar dari lamunan panjangku. Hari ini aku tak melihatnya duduk di bukit menungguku seperti biasa. Aku bergegas merapikan alat-kameraku kameraku dan handycame yang ku pakai beberapa hari ini untuk merekam kenanganku bersama Daun, dan memasukkannya ke dalam ranselku. Aku berlari menuju rumah Daun, untuk pamitan yang terakhir kalinya. Tak kutemui dia di sana, rumahnya tampak kosong. Aku kembali ke bukit, Daun tetap tak dapat kuteukan. Di mana dia berada? Aku masih belum menyerah mencarinya. Aku berteriak menyerukan namanya. Tapi itu semua sia-sia, sebab Daun tak mungkin membala seruanku. Kuputuskan untuk kembali ke rumahnya. Aku tersentakkaget sekaligus senang. Daun ada di sudut ruangan tengah menangis. Aku mendekapnya erat, dan mengusap air matanya.
“Maafkan aku, aku janji pasti kembali untukmu!” janjiku tuk kesekian kali.
Daun mengangguk berat. Dia memberikan bohlam embun miliknya padaku. Aku menolaknya, namun dia tetap memaksa. Akupun menerimanya dengan berat hati, karena hanya itu semangat hidupnya. Aku menunjukan sesuatu padanya. Handycame kecil yang mengingatkan kami akan kenangan-kenanganku bersamanya selama kami bersama. Wajahnya kembali menyiratkan kegembiraan, meskipun tidak sempurna. Aku memberikan handycameku untuknya yang disalurkan pada televise kecil tahun 90-an yang layarnya tidak berwarna.
“Aku pergi!” pamitku kesekian kali.
Aku berlari meninggalkannya. Perasaanku benar-benar kacau, aku tak sampai hati meninggalkannya sendiri dalam kesepian. Namun langkahku tetap menjauh darinya.
Diangkutan umum yang kutumpangi menuju terminal, aku kembali teringat akan bohlam embun peberian Daun. Lama ku tatap bohlam itu. Entah dorongan apa yang membuatku menghentikan laju angkutan umum yang kutumpangi. Aku berbalik arah menuju bukit di mana Daun tinggal. Aku terus berlari hingga terlihat rumah mungil di pinggir sungai. Aku terus berlari, sampai di depan pintu, nafasku terengah-engah. Daun tampak kaget seraya memelukku.

Intervensi Pemilik Modal Terhadap Pemberitaan

Dalam Seminar yang digelar School for Broadcast Media pada tanggal 11 September 2006, sejumlah praktisi media massa menilai bahwa intervensi terhadap pemberitaan oleh pengusaha maupun penguasa (pemerintah) masih terus terjadi hingga saat ini. Di pihak lain Presiden Susilo Bambang YudhoyonoBY dalam acara buka bersama dengan pemimpin redaksi dan wartawan, menegaskan bahwa kebebasan pers dan kebebasan rakyat melalui media massa merupakan keniscayaan dalam transformasi menuju demokrasi.
Namun, terlepas dari pernyataan praktisi media maupun penegasan Presdien SBY, sebenarnya sudah disinyalir bahwa pola intervensi kembali mengganggu kebebasan pers sejalan dengan dengan menguatnya hegemoni politik pemerintah. Padahal berdasarkan Undang – Undang Nomor 40 tahun 1999, yang menjamin kemerdekaan pers sebagai wujud dari kedaulatan rakyat, tidak ada lagi intervensi yang dibenarkan dari pihak manapun terhadap media massa. Meski demikian, bukan berarti pers bisa sepenuhnya menikmati kebebasan menyampaikan informasi kepada publik, sebab masih ada sejumlah pengusaha dan elite dalam kekuasaan negara yang justru merasa terganggu oleh demokratisasi informasi.
Dalam situasi kebebasan pers, penguasa menjadi semakin sensitif terhadap kritik media. Salah satu contoh yang “disinyalir” sebagai bentuk kontrol penguasa terhadap media, adalah berakhirnya acara televisi Republik Benar Benar Mabuk (Republik BBM) versi pertama dari Taufik Savalas dan Effendi Gazali. Meski pemerintah sudah membantah melakukan intervensi, tetapi dari sudut pandang komunikasi politik budaya konteks tinggi (high context culture), pemanggilan Taufik Savalas dan kawan – kawan ke kantor Wakil Presiden pada waktu itu, ditafsirkan pula sebagai peringatan agar Republik BBM tidak berlebihan mengritisi pemerintah.
Demokratisasi informasi yang mestinya bebas dari campur tangan pihak manapun, kontras pula dengan model intervensi pemberitaan yang dilakukan oleh pengusaha terhadap media. Masih jelas dalam ingatan, tentang penampilan Titiek Soeharto yang memandu acara sepakbola Piala Dunia Tahun 2006, menuai kritik bahwa televisi adalah hak publik bukan hak dari para pemilik modal yang bisa mengintervensi jam tayang untuk kepentingan tertentu dengan misi khusus.
Tindakan lain yang cenderung dilakukan oleh sejumlah pengusaha, adalah dengan menggunakan kekuatan uang untuk menguasai pemberitaan media. Umumnya strategi intervensi terselubung itu dilakukan melalui beberapa cara, yaitu pertama, pers digunakan untuk menyampaikan pesan khusus yang menciptakan relasi dengan pemegang kekuasaan. Model ini bisa tampak dari iklan ucapan selamat kepada pejabat publik, iklan yang memberi dukungan terhadap kebijakan pemerintah, dan model public speaking dari elite, public figure atau presenter media yang menggiring khalayak agar menyalahkan tindakan yang mengkritisi penguasa dari sudut pandang yang subyektif.
Strategi kedua, adalah menggeser substansi masalah yang merugikan rakyat akibat ulah perusahaan, menjadi persoalan dan tanggung jawab bersama, sembari membawa nilai kesantunan dan worldview masyarakat Indonesia yang adiluhung dan pemaaf. Cara ini lazim dilakukan dengan memanfaatkan akademisi, pakar ataupun publik figure yang memiliki hubungan khusus di media. Pola ketiga dalam mengintervensi media secara tersembunyi adalah, kepiawaian sejumlah pihak terutama opinion leader yang digunakan oleh pengusaha untuk meminimalisir kesalahan individual maupun kelompok, dengan cara mengkomparasikan situasi masa kini dengan situasi sebelumnya, dalam bentuk penyampaian pesan sederhana yang mudah dipahami masyarakat. Sedangkan strategi intervensi keempat yang dilakukan pengusaha, sesungguhnya sangat tidak taktis dan mudah ditebak, mereka menggunakan orang – orang tertentu untuk memandu acara di media yang substansinya mengingatkan kedigdayaan penguasa masa lalu.
Mungkin masih banyak lagi upaya menguasai pemberitaan pers yang tidak terdeteksi oleh masyarakat, namun aspek yang sangat menonjol, justru tindakan intervensi cenderung ditafsirkan oleh elite dalam kekuasaan negara maupun sejumlah pengusaha, sebagai bentuk demokratisasi dalam pemberitaan sepanjang tidak menggunakan tindakan represif maupun anarkis. Oleh sebab itu, sesungguhnya yang harus menjadi ujung tombak untuk mencegah berkembangnya pengertian sepihak tersebut adalah para praktisi media. Namun sepertinya mereka tidak berdaya, sebab pola hubungan antara organisasi media dengan pemilik modal, pengusaha dan pemerintah masih tetap terbelenggu dalam relasi patronage yang tidak seimbang, organisasi media dalam posisi yang sangat lemah. Artinya walaupun organisasi media sudah memberikan kebebasan kepada pekerjanya untuk mengikuti Kode Etik Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) ataupun Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, tetapi sejumlah organisasi media disinyalir tetap tidak mampu untuk menghadapi intervensi pemberitaan dari pemilik modal maupun para elite dalam kekuasaan negara.
Memang harus diakui meski reformasi politik dan retorika kebebasan pers setiap saat bisa didengar, tetapi pers belum sepenuhnya lepas dari pengaruh kelas – kelas dominan. Padahal dengan berpijak pada UU No. 40 tentang Pers dan UU Nomor 32 tentang Penyiaran, masyarakat terus menuntut eksistensi pers yang bebas dari tekanan dari pihak manapun.
Jakarta, Oktober 2006
Dr. Eko Harry Susanto.
Pemerhati Masalah Komunikasi dan Politik. Fasilitator Komunikasi Publik.

Cara Pers Mempengaruhi Kita

Salah satu "pantangan besar" bagi seorang jurnalis adalah: dilarang menyampaikan opini pribadi si penulis secara langsung di dalam tulisannya. Sebab, tugas seorang wartawan hanyalah sebagai "mediator" antara nara sumber (sumber berita) dengan pembaca.

Lantas, apakah ini berarti si wartawan tidak boleh berpendapat sama sekali? Apakah si wartawan - bahkan redaktur sebuah media - tidak boleh menyebarluaskan opini atau idealisme atau aliran hidupnya kepada para pembaca?

Tentu saja amat boleh. Tapi, ada strategi cantik yang bisa dilakukan. Dan inilah yang akan kita bicarakan kali ini.


Peristiwa VS Berita


Sebelumnya, kita akan bahas dulu apa perbedaan antara peristiwa dengan berita.

Peristiwa adalah sesuatu yang sifatnya amat objektif. Misalnya: Ada orang yang ditabrak oleh mobil di jalan raya. Ini adalah sesuatu yang sangat objektif.

Sedangkan berita adalah peristiwa yang diceritakan(*).

Ketika peristiwa di atas diceritakan oleh seorang saksi mata kepada orang lain, maka peristiwa ini telah berubah menjadi berita. Dan berita tidak akan pernah seratus persen objektif.

Kenapa? Sebab ketika si saksi mata menceritakan sebuah peristiwa, pasti subjektivitas dirinya sudah terlibat di dalam berita tersebut. Subjektivitas ini bisa dalam skala yang paling kecil (seperti gaya bercerita), yang agak besar (sikap si saksi mata terhadap peristiwa tersebut), hingga yang berskala besar (seperti idealisme, kepentingan bisnis atau politik, dan sebagainya).

Berikut adalah sebuah contoh nyata tentang subjektivitas berita. Kita andaikan, peristiwa di atas diceritakan oleh tiga orang saksi mata, yakni Ani, Budi, dan Yani.

ANI:
“Wah, tadi ada orang yang ditabrak mobil di jalan raya. Kasihan, deh. Dia luka parah dan enggak ada yang mau nolong.”

BUDI:
“Tadi pas gue lewat di jalan raya, ada yang ketabrak mobil. Lukanya enggak begitu parah, sih. Tapi anehnya, kok enggak ada yang mau nolong, ya?”

YANI:
“Tadi ada orang yang ketabrak mobil. Syukurin tuh orang. Makanya, kalo nyeberang lihat kiri kanan dulu.”

Coba perhatikan, dan rasakan subjektivitas masing-masing berita di atas.

Maka, sebenarnya TAK ADA BERITA YANG 100 % OBJEKTIF. Kalaupun ada yang mengaku sebagai media massa yang objektif (contohnya yang ini), mungkin mereka hanya mencoba seobjektif mungkin.

Perbedaan sikap dan cara bercerita ketiga orang di atas adalah contoh subjektivitas, tapi masih berskala kecil. Dalam prakteknya di dunia jurnalistik, subjektivitas ini bisa berskala lebih besar, misalnya karena menyangkut ideologi, misi dan visi setiap penerbitan, dan sebagainya.

Sebagai contoh, beberapa tahun lalu di situs berita luar negeri terdapat sebuah foto yang sebenarnya biasa-biasa saja. Adegannya adalah seorang ibu berjilbab sedang diperiksa oleh petugas keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di Jakarta.

Kita yang tinggal di Jakarta tentu tahu, bahwa adegan seperti ini sudah jadi pemandangan umum, tak ada yang istimewa. Karena banyak bom yang meledak, setiap gedung merasa perlu memeriksa semua tamu yang masuk.

Tapi coba lihat, apa yang ditulis oleh situs berita luar negeri tersebut. Pada komentar foto, dia menulis seperti ini:

Seorang wanita muslim diperiksa oleh pihak keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di Jakarta.

Memang benar, wanita yang diperiksa itu seorang muslim, karena dia pakai jilbab. Tapi kita tak bisa membaca sebuah berita apa adanya seperti itu. Kita perlu bertanya secara kritis, seperti ini:
1. Kenapa si wartawan menulis “seorang wanita muslim”? Pemilihan kata seperti ini bisa menimbulkan kesan bahwa yang diperiksa di depan mal hanyalah orang muslim. Kesan selanjutnya, seolah-olah semua umat Islam itu patut dicurigai sehingga perlu diperiksa. Padahal kenyataannya, setiap orang tanpa kecuali (apapun agama dan golongannya) akan diperiksa kalau mereka hendak memasuki mal.
2. Kemungkinan besar si wartawan – ketika memburu foto di depan mal - tak hanya memotret wanita berjilbab tadi. Pasti banyak orang yang yang terekam oleh kameranya. Tapi kenapa yang ditampilkan di situsnya hanya si wanita berjilbab?
Itulah contoh yang jelas mengenai subjektivitas berita. Intinya, tak ada berita yang benar-benar objektif.





Kiat Pers dalam Mempengaruhi Pembaca


Jadi, walaupun ada prinsip bahwa seorang jurnalis tidak boleh menyampaikan pendapat atau opininya secara langsung di dalam sebuah tulisan jurnalistik, dalam prakteknya subjektivitas tetap tak bisa dicegah.

Karena itu, jurnalistik juga mengenal sejumlah kiat untuk menyampaikan pesan, opini, dan sebagainya, tanpa harus "melanggar" aturan di atas.

Berikut adalah beberapa di antaranya.

01. Pemilihan istilah

Sebagai contoh, coba bandingkan kedua kalimat ini:

Pemberontak Palestina menyerbu markas tentara Israel.

Pejuang Palestina menyerbu markas tentara Israel.

Kedua kalimat di atas sebenarnya sama saja. Yang berbeda cuma pada kata “pemberontak” dan “pejuang”.

Kita tentu tahu, kedua istilah ini punya makna yang berbeda. Pemberontak biasanya identik dengan penjahat atau pengkhianat negara, sedangkan pejuang adalah orang yang bekerja untuk meraih sesuatu yang mulia. Pemberontak bermakna negatif, sedangkan pejuang bermakna positif.

Kalimat pertama adalah contoh kalimat yang sering dipakai oleh pers Barat yang anti Islam. Mereka hendak memberi kesan bahwa Palestina berbuat salah karena menyerang Israel. Padahal kenyataannya, justru rakyat Palestina yang berjuang untuk memerdekakan negara mereka dari jajahan Israel.

02. Menonjolkan pendapat tokoh yang satu misi dengan kita

Memang, seorang wartawan hendaknya menampilkan pendapat dari dua kubu yang berbeda. Dari yang pro maupun yang kontra. Supaya beritanya berimbang. Tapi dalam teknis penulisan, kita bisa mengatur agar tulisan kita membawa misi sesuai yang kita harapkan.

Contoh:
Si wartawan hendak menulis berita tentang kontes Miss Universe, tapi Anda tak setuju dengan acara ini. Setelah mewawancarai tokoh-tokoh yang pro dan kontra, dia menulis beritanya seperti ini (contoh):

”Miss Universe itu boleh-boleh saja, kok. Mereka kan mengharumkan nama bangsa,” ujar Mr. X. Pendapat senada dilontarkan oleh Mr. Y. Katanya, “Kontes Miss Universe bisa menunjang pariwisata kita.” Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Mr. Z. Menurutnya, kontes Miss Universe itu tidak ada gunanya sama sekali. “Itu hanyalah ajang pamer aurat. Biaya penyelenggaraan acaranya bisa dipakai untuk membantu rakyat miskin,” tandasnya tegas.

Coba perhatikan. Pendapat yang pro diletakkan di bagian awal, sementara pendapat yang kontra (yang sejalan dengan misi penulisnya) diletakkan di bagian akhir. Ini tentu ada maksudnya. Biasanya, yang muncul belakangan adalah kesimpulan. Jadi dengan penempatan pendapat yang sesuai misi kita di bagian akhir, kita dapat menggiring pembaca untuk setuju dengan pendapat kita.

03. Seleksi terhadap materi berita

Secara teori, kita bisa memasukkan informasi apa saja untuk mendukung berita yang kita tulis. Misalnya, kita ingin memuat sebuah foto tentang keakraban antara ibu dengan anak. Di sini, kita bisa memilih: si ibunya ini pakai jilbab atau tidak? Jika kedua pilihan ini tidak mempengaruhi pesan yang hendak disampaikan, maka tak ada salahnya jika kita memilih foto ibu yang berjilbab. Sebab ini bisa menjadi sarana yang baik untuk memasyarakatkan pemakaian jilbab di kalangan pembaca.

04. Menonjolkan informasi tertentu dan dan tidak menonjolkan informasi lainnya

Contoh kasus: Ada dua materi yang bisa kita tampilkan:
liputan konser nasyid dan liputan konser dangdut. Yang mana yang harus dimuat? Jika tujuannya adalah dakwah, kita punya pilihan sebagai berikut.

1.Memuat liputan konser nasyid, sementara liputan konser dangdut tak dimuat.

2.Memuat kedua liputan ini. Tapi liputan konser nasyid dibahas secara lebih lengkap, dan ditonjolkan di halaman depan. Sementara liputan dangdut dibahas sekilas saja.

Apakah hal seperti ini diperbolehkan? Tentu saja boleh. Yang tak boleh adalah berbohong. Kita pasti tahu, trik seperti di atas bukan termasuk bohong.

05. Membentuk citra tertentu

Apa yang dimaksud dengan citra? Untuk lebih jelasnya, coba perhatikan kedua contoh paragraf berikut.

Contoh 1:
Konser musik rock tadi malam berlangsung meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris, mengelu-elukan idola mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga sepuluh malam. Penonton tampak puas dengan penampilan artis-artis di atas panggung. “Asyik aja pokoknya. Lain kali kalo ada acara seperti ini, gue pasti datang,” ujar Doni, salah seorang penonton yang datang jauh-jauh dari Tasikmalaya untuk menonton konser ini.


Contoh 2:
Konser musik rock tadi malam berlangsung meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris, mengelu-elukan idola mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga sepuluh malam. Shalat magrib pun terlewat. Suasana riuh tetap terasa di seluruh lapangan. Banyak botol minuman keras dan puntung rokok berserakan di atas rumput. Penonton tampaknya menikmati acara yang sangat meriah ini. Namun tak jauh dari lokasi konser, seorang penduduk setempat mengajukan keluhannya. “Bising banget, Mas. Kami kagak bisa tidur semalaman,” ujarnya.


Coba perhatikan. Kedua contoh di atas sebenarnya menginformasikan peristiwa yang sama. Tapi ada perbedaan yang sangat jelas di dalam sudut pandang pemberitaannya.

Itulah salah satu contoh pembentukan citra. Dua orang jurnalis membentuk citra yang berbeda dari informasi yang sama.

Apakah boleh menampilkan tulisan dengan cara seperti itu? Boleh-boleh saja, kok. Secara umum, si jurnalis hanya bermain-main dengan “persepsi”. Setiap orang tentu punya persepsi atau pandangan yang berbeda-beda mengenai sesuatu, kan?


* * *

Nah, itulah beberapa metode yang biasa diterapkan oleh wartawan di dalam menyampaikan opini atau misi/visi mereka. Sebenarnya masih banyak teknik lainnya. Tapi semoga penjelasan di atas bisa memberi gambaran yang memadai.



Fakta Kontemporer


Masalah yang dihadapi oleh Islam saat ini, yakni citra jelek sebagai agama teroris, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor pembentukan citra. Pers yang anti Islam dan liberal, yang mendominasi dunia penerbitan kita, tak pernah berhenti menulis berita yang menjelek-jelekkan Islam. Secara perlahan dan sistematis, mereka membentuk pola pikir pembaca, bahwa Islam itu sadis, teroris, dan kejam. Akibatnya, banyak orang yang terpengaruh, dan menjadi takut pada Islam.

Ini adalah masalah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Terlebih karena hampir semua pers dikuasai oleh golongan-golongan yang tidak berpihak pada Islam.

Semoga dengan tulisan ini, kita bisa lebih kritis di dalam menyikapi setiap berita yang muncul di media massa. Ingatlah bahwa pasti ada "sesuatu" di balik setiap karya jurnalistik.

Tapi, jangan pula kita pesimis. Kiat di atas sebenarnya bermata dua, seperti pisau. Ia bisa digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, namun bisa juga dipergunakan untuk kebaikan, misalnya untuk berdakwah.

Semoga bermanfaat :)

Thursday, December 30, 2010

Bahasa Indonesia Identitas Kita !!!

Bahasa merupakan media yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari satu individu ke individu lainnya, dalam istilah komunikasi “dari komunikator (Pemberi pesan) ke komunikan (Penerima pesan)” baik itu berupa lisan maupun tulisan. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa, baik menggunakan bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa tubuh. Bahkan saat tidur pun terkadang kita tanpa sadar menggunakan bahasa.

Sebuah bangsa pasti memiliki bahasa, walaupun ada beberapa bangsa yang meminjam bahasa dari bangsa lain, seperti Singapura yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Kita sebagai bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu Riau. Akan tetapi, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu adalah bahasa Melayu, dua bahasa yang serumpun tapi tidak sama. Bahasa Indonesia mulai dikenal secara luas sejak "Sumpah Pemuda", 28 Oktober 1928 di Solo, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Tujuannya ialah ingin mempersatukan para pemuda Indonesia, mereka melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa atau etnik. Ketika itu, yang mengikuti "Kongres Pemuda" adalah wakil-wakil pemuda Indonesia dari Jong Jawa, Jong Sunda, Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong Selebes. Ikrar yang dikenal dengan nama "Sumpah Pemuda" ini butir ketiga berbunyi (Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia). Ikrar yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia ini juga memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif, mutlak diperlukan setiap bangsa. Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa tidak mungkin dapat menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain.
Jadi, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa sebagai bagian kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikrar berupa "Sumpah Pemuda" inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, pada perjalanan selanjutnya, bahasa Indonesia tidak lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia harus terus dibina dan dijaga oleh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya.

Jati Diri Bangsa Indonesia Pada Era Globalisasi
Pengaruh dari luar atau pengaruh asing sangat besar kemungkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yan berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing daripada penggunaan bahasa Indonesia dan masih menganggap bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia , misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, penamaan gedung-gedung pertemuan. Alih-alih untuk kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis . Hal ini patut disayangkan, terlebih lagi adanya himbauan pemerintah kota Palopo “Mari kita mengutamakan Bahasa Indonesia” yang bisa kita lihat dipinggiran jalan. Rasanya sikap mengutamakan bahasa Indonesia masih diacuhkan oleh bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat kota Palopo pada khususnya. Mengutamakan bahasa Indonesia artinya menjadikan bahasa Indonesia nomor satu dan bahasa Asing nomor Ke-sekian. Penamaan salah satu gedung milik pemkot Palopo “Saodanrae Convention Center” bahkan juga mengacuhakan himbauan tersebut. Mestinya sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.
Patut kita ingat Susunan kelompok kata dalam bahasa Indonesia biasanya mempergunakan hukum D-M (hukum Diterangkan - Menerangkan), yaitu kata yang diterangkan (D) di muka yang menerangkan (M). Kelompok kata rumah sakit, jurusan dakwah, baju hitam, buku pelajaran merupakan contoh hukum D-M ini. Oleh karena itu, setiap kelompok kata yang diserap dari bahasa asing harus disesuaikan dengan kaidah ini. Dengan demikian, bentuk-bentuk Lagaligo Hotel, Palopo Plaza, International Tailor, Sudirman Cup, Indonesian Super League, Palopo Expo yang tidak sesuai dengan hukum D-M harus disesuaikan menjadi Hotel Lagaligo, Plaza Palopo, Penjahit Internasional, Piala Sudirman, Liga Super Indonesia dan Pameran Palopo. Saya yakin, penyesuaian nama ini tidak akan menurunkan derajat perusahaan atau kegiatan tersebut. Sebaliknya, hal inilah yang disebut dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Selain itu, kita lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, Shoping, badminton, track record, Indonesia VS MU, background, reality, airport, masing-masing untuk “belanja”, “bulu tangkis”, “rekam jejak”, “Indonesia lawan MU”, “latar belakang”, “kenyataan”, dan “lapangan terbang” atau ”bandara”. Anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang dipenuhi oleh kata, istilah, dan ungkapan asing merupakan bahasa Indonesia yang "canggih" ataupun bahasa Indonesia yang “ilmiah” adalah anggapan yang keliru.
Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap disiplin dalam berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini.
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri bangsa Indonesia yang perlu terus dipertahankan. Pergaulan antarbangsa memerlukan alat komunikasi yang sederhana, mudah dipahami, dan mampu menyampaikan pikiran yang lengkap. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus terus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia dalam pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini.

Kepedulian Pemerintah
Kepedulian pemerintah ini, bukan saja kemudahan mendapatkan fasilitas, melainkan juga kepedulian dalam penggunaan dan pengutamaan bahasa Indonesia. Juga koordinasi terhadap oknum pemerintah lain untuk menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Gerakan untuk mengganti kata-kata asing menjadi kata-kata Indonesia, misalnya, dalam penamaan kompleks perumahan dan penamaan gedung-gedung pertemuan yang saat ini marak di kota Palopo , tidak hanya harus diupayakan oleh pemerintah kota Palopo, tetapi juga oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Hal ini bisa saja dibuatkan aturan khusus dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah) yang mengatur tentang pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia.
Jika hal tersebut bisa kita pahami dan telah menjadi kesadaran kita bersama, maka bukan hal yang mustahil jika bahasa Indonesia esok akan menjadi bahasa peradaban dunia, bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional. Dilihat dari struktur dan pembacaan bahasa Indonesia yang sangat sederhana, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang tidak sulit untuk dipelajari. Suatu bukti yang meyakinkan bila esok bahasa Indonesia akan menjadi bahasa peradaban dunia, lebih dari 50 negara di Dunia telah mempelajari dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu diantara mata pelajaran di sekolah mereka. Kita sebagai pemilik bahasa Indonesia harus banggga karena bahasa kita dipelajari bangsa lain.

Hidup bahasa Indonesia!

Recent Posts

Popular Posts

Unordered List

Blog Archive

Powered By Blogger

Pembaca di Facebook

Total Pageviews

Tentang Saya

My Photo
Muhammad Arsyad Dumpa
Palopo, Sulawesi Selatan, Indonesia
saya adalah seorang mahasiswa di STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Palopo, mengambil Jurusan komunikasi....
View my complete profile

Jual Beli Online Murah dan Aman

Adsense Indonesia
Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net